Selasa, 24 Februari 2015

IZIN PRAKTEK & IZIN KERJA APOTEKER DI KOTA SEMARANG

Pertumbuhan Sektor Kefarmasian di Kota Semarang sangatlah pesat, hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya Sarana Produksi, Distribusi dan Pelayanan Kefarmasian yang ada di Kota Semarang. Menurut catatan Dinas Kesehatan Kota Semarang, sampai saat ini ada sekitar 901 Sarana Kefarmasian yang ada di Kota Semarang. Sarana itu terdiri dari 16 Industri Farmasi, 2 Industri Alkes, 5 Industri PKRT, 24 Industri Kosmetik, 6 Industri Obat Tradisional, 190 Pedagang Besar Farmasi, 78 Pedagang Alat Kesehatan, 18 Rumah Sakit Umum, 8 Rumah Sakit Khusus, 36 Klinik Utama, 71 Klinik Pratama, 410 Apotek dan 37 Puskesmas.

Dengan keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (nomor 30 tahun 2014), Apotek (nomor 35 tahun 2014), dan Rumah Sakit (nomor 58 tahun 2014); kemudian Permenkes nomor 9 tahun 2014 tentang Klinik; Permenkes nomor 56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit; serta Permenkes nomor 75 tahun 2014 tentang Puskesmas; maka untuk menyesuaikan dengan peraturan - peraturan tersebut, kebutuhan Apoteker untuk sarana - sarana tersebut diatas diperkirakan sekitar 1488 orang Apoteker.

Dengan besarnya kebutuhan Apoteker di Kota Semarang, maka akan banyak terjadi perpindahan tempat kerja para Apoteker dari sektor pelayanan khususnya Apotek, ke sektor pelayanan lain atau ke sektor distribusi dan produksi. Hal ini juga disebabkan oleh minimnya pendapatan Apoteker di sektor pelayanan swasta khususnya Apotek. Pada khususnya hal ini akan menyebabkan Apotek - Apotek di Kota Semarang kesulitan dalam mencari tenaga Apoteker.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah Kota Semarang melalui Dinas Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan bahwa setiap Apotek minimal harus mempunyai 2 orang Apoteker, untuk melaksanakan amanat Undang - Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang menyatakan bahwa setiap pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh Apoteker. Pada Pasal 21 PP nomor 51 tahun 2009 disebutkan bahwa Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian, selain itu disebutkan bahwa penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker. Diharapkan dengan kebijaksanaan ini, akan meningkatkan cakupan pelayanan Apoteker ke masyarakat Kota Semarang.

Pada kenyataannya, dari hasil monitoring Apotek yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang, masih banyak Apotek yang membuka pelayanan walaupun tanpa kehadiran Apotekernya, dan masih banyak Apotek yang hanya mempunyai seorang Apoteker. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan isi Pasal 5 UU nomor 36 tahun 2009 yang berbunyi bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Demikian juga pada Pasal 4 PP nomor 51 tahun 2009 telah disebutkan bahwa pengaturan pekerjaan kefarmasian bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam memperoleh sediaan dan jasa kefarmasian, serta untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian. Ancaman pidana juga akan dikenakan kepada siapa saja yang tidak mempunyai kewenangan tetapi melaksanakan pekerjaan kefarmasian, seperti yang disebutkan dalam Pasal 198 UU nomor 36 tahun 2009.

Melihat situasi tersebut diatas, Dinas Kesehatan Kota Semarang mempertimbangkan aspek - aspek hukum di bawah ini :
  1. Pasal 14 UU nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU nomor 32 tahun 2004 yang menyebutkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten / kota merupakan urusan yang berskala kabupaten / kota yang salah satunya adalah penanganan bidang kesehatan.
  2. Pasal 124 UU nomor 12 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.
  3. Pasal 16 UU nomor 36 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
  4. Pasal 26 UU nomor 36 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan. Disamping itu Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya dengan memperhatikan : jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat, jumlah sarana pelayanan kesehatan, dan jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada. 
  5. Pasal 34 PP nomor 51 tahun 2009 menyebutkan bahwa Tenaga Kefarmasian melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada : Fasilitas Produksi, Fasilitas Distribusi dan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.
  6. Pasal 52 PP nomor 51 tahun 2009 menyebutkan setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja, yang dapat berupa : SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit; SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian sebagai Apoteker pendamping; dan SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di fasilitas kefarmasian diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit;
  7. Pasal 54 PP nomor 51 tahun 2009 menyebutkan bahwa Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a hanya dapat melaksanakan praktik di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. Selain itu disebutkan bahwaApoteker pendamping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b hanya dapat melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
  8. Pasal 17 Permenkes nomor 889 tahun 2011 menyebutkan bahwa setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja, berupa : SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian; SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian; dan SIKA bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran; 
  9. Pasal 18 Permenkes nomor 889 tahun 2011 menyebutkan bahwa : SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian atau SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas kefarmasian; Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian berupa puskesmas dapat menjadi Apoteker pendamping di luar jam kerja; SIPA bagi Apoteker pendamping dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas pelayanan kefarmasian; SIKTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas kefarmasian.

Melihat Pasal 54 ayat 1 PP nomor 51 tahun 2009 dan Pasal 18 Permenkes nomor 889 tahun 2011 Dinas Kesehatan berpendapat bahwa jabatan sebagai Apoteker Penanggungjawab untuk seorang Apoteker hanya boleh diberikan untuk satu sarana kefarmasian saja, dan jabatan sebagai Apoteker Pendamping dapat diberikan untuk 3 sarana kefarmasian. Dalam peraturan - peraturan diatas tidak ada larangan bahwa seorang Apoteker dapat menjabat sebagai Apoteker Penanggungjawab sekaligus sebagai Apoteker Pendamping. 

Dengan memperhatikan hal - hal yang tersebut diatas, dengan tujuan untuk :
  1. Melaksanakan amanat UU nomor 36 tahun 2009 dan PP nomor 51 tahun 2009 
  2. Meningkatkan cakupan pelayanan Apoteker ke masyarakat Kota Semarang
  3. Meningkatkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Kota Semarang
  4. Meningkatkan kesejahteraan Apoteker di Kota Semarang
  5. Mengembangkan iklim investasi yang kondusif di bidang kefarmasian di Kota Semarang
serta dengan mempertimbangkan aspek - aspek hukum diatas, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang pada tanggal 4 Agustus 2014 mengeluarkan Surat Keputusan nomor 442 / 6975 tentang Izin Praktek dan Izin Kerja Apoteker yang menyatakan bahwa :
  1. Apoteker dapat diberikan izin praktik atau izin kerja sebagai Apoteker Penanggungjawab (SIPA atau SIKA Penanggungjawab) hanya di satu tempat fasilitas produksi, distribusi atau pelayanan kefarmasian.
  2. Apoteker yang telah mendapat izin praktik atau izin kerja sebagai Apoteker Penanggungjawab (SIPA atau SIKA Penanggungjawab) di satu tempat fasilitas produksi, distribusi atau pelayanan kefarmasian, dapat diberikan izin praktik tambahan sebagai Apoteker Pendamping (SIPA Pendamping) di satu tempat fasilitas pelayanan kefarmasian yang lain.
  3. Apoteker yang hanya bertindak sebagai Apoteker Pendamping saja, dapat diberikan izin praktik sebagai Apoteker Pendamping (SIPA Pendamping) di maksimal tiga tempat fasilitas pelayanan kefarmasian.
  4. Apoteker harus berpraktek di tempat yang memenuhi syarat.
Demikian Surat Keputusan ini kami sampaikan ke seluruh Apoteker di Kota Semarang pada khususnya dan seluruh masyarakat Kota Semarang pada umumnya, untuk menjadi perhatian. Tentu saja Surat Keputusan ini juga memerlukan dukungan dan komitmen dari seluruh Apoteker yang ada di Kota Semarang, karena Standar Pelayanan Kefarmasian akan bisa meningkat bila Apoteker benar - benar berkomitmen untuk melayani masyarakat. Dalam prakteknya tentu saja akan lebih baik Apoteker yang bekerja di dua atau tiga tempat sekaligus tetapi mau berkomitmen untuk datang setiap hari kerja di tempat - tempat tersebut walaupun hanya empat jam sehari, daripada Apoteker yang sudah menyatakan akan praktek di satu tempat saja tetapi hanya datang seminggu sekali atau sebulan sekali di tempat kerjanya. Kami berharap dengan adanya Surat Keputusan ini dan komitmen para Apoteker di Kota Semarang, dapat mewujudkan tujuan - tujuan yang telah kami sampaikan. 

Billahi Taufiq Wal Hidayah. 
Terima Kasih.






Rabu, 11 Februari 2015

JAMINAN SOSIAL BAGI TENAGA KEFARMASIAN

Menurut catatan kami di Seksi Farmamin dan Perbekes Dinas Kesehatan Kota Semarang, dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, banyak proses permohonan perubahan Izin Apotek dan PBF yang disebabkan karena pergantian Penanggung Jawab (Apoteker) dari sarana tersebut. Jumlahnya sekitar 19,0 %  sampai dengan  59,3 % dari total jumlah perizinan dalam setahun.
Banyaknya pergantian atau perpindahan tenaga di sarana kefarmasian, terutama PBF, Apotek & Klinik, yang disebabkan oleh alasan kesejahteraan. Besaran pendapatan tenaga kefarmasian, baik Apoteker maupun Tenaga Teknis Kefarmasian di PBF, Apotek dan Klinik dirasa masih kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Disamping itu para pemilik sarana masih kurang memperhatikan pemenuhan Jaminan Sosial bagi tenaga kefarmasian, seperti jaminan sosial kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua maupun kematian.

Frekuensi perpindahan tenaga kefarmasian pengelola sarana kefarmasian yang terlalu sering tentu saja akan mengganggu kinerja pelayanan dari sarana tersebut, yang pada akhirnya akan mengurangi keuntungan dari pemilik sarana. Disamping itu, secara umum juga akan mengganggu penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di sarana kefarmasian Kota Semarang. Perlindungan bagi tenaga kefarmasian dapat dilihat sebagai berikut :



Kewajiban pemenuhan kebutuhan Jaminan Sosial oleh pemilik sarana kefarmasian bagi tenaga kefarmasian yang  bekerja kepadanya, diatur dalam :
  1. Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, pasal 2, 3 dan 13;
  2. Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 27 dan 166;
  3. Undang-Undang nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pasal 5 dan 6; dan
  4. Surat Edaran Walikota Semarang nomor 5683.3/3921 tahun 2014 tentang Perlindungan Tenaga Kerja pada Program BPJS


Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah ditetapkan oleh Pemerintah akan sangat membantu pemilik sarana kefarmasian dalam pemenuhan kebutuhan jaminan sosial bagi tenaga kefarmasian yang bekerja kepadanya. Untuk masalah jaminan kesehatan dapat bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Untuk masalah jaminan kecelakaan kerja, hari tua dan kematian dapat bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan biaya yang relatif ringan, para pemilik sarana kefarmasian dapat memenuhi seluruh jaminan sosial bagi tenaga kerjanya. Bila tenaga kefarmasian sudah terjamin perlindungan sosialnya, maka tenaga kefarmasian akan merasa lebih tenang dalam bekerja, sehingga akan meningkatkan kinerja dari tenaga kefarmasian tersebut, yang pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan dari pemilik sarana kefarmasian. Bagi Pemerintah akan mendatangkan keuntungan berupa peningkatan Standar Pelayanan Kefarmasian di Kota Semarang.

Dinas Kesehatan Kota Semarang telah menindaklanjuti permasalahan perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kefarmasian ini dengan mengeluarkan Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang nomor 441.91 / 1278 tahun 2015, yang isinya menghimbau kepada seluruh pemilik sarana Apotek di Kota Semarang agar mendaftarkan tenaga kefarmasiaannya ke program perlindungan jaminan sosial BPJS.

Demikian semoga gagasan ini dapat membantu dalam pemecahan masalah pemenuhan jaminan sosial bagi tenaga kefarmasian di Kota Semarang. Atas perhatiannya terima kasih.





Senin, 02 Februari 2015

Public Warning Obat Tradisional dan Suplemen Makanan

Bersama ini kami sampaikan daftar Obat Tradisional dan Suplemen Makanan yang masuk daftar Public Warning BBPOM Jawa Tengah tahun 2014 :








Diharapkan kepada segenap masyarakat untuk TIDAK mempergunakan atau memperjualbelikan produk - produk yang tercantum diatas.

Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih, semoga bermanfaat.

Public Warning Kosmetik

Bersama ini kami sampaikan daftar kosmetik yang masuk daftar Public Warning BPOM No. HM.03. 03.1.43.12.14.7870 Tanggal 19 Desember 2014 yang isinya sebagai berikut :





























































Kepada masyarakat dihimbau untuk TIDAK menggunakan dan memperjualbelikan kosmetik yang ada dalam daftar diatas.

Terima kasih atas perhatiannya, semoga bermanfaat